UU HPP atau UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan baru saja lahir dan kini sudah menjadi bagian dari proses reformasi struktural dengan tujuan untuk membentuk sistem PPh yang lebih adil sehingga dapat meluaskan basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP itu sendiri dituntaskan pembahasan mengenai amandemennya oleh pemerintah dan legislatif dalam Rapat Paripurna DPR di hari Kamis tanggal 7 Oktober 2021.
Namun, apa yang dimaksud dengan UU HPP itu sendiri dan apa saja poin yang dibahas di dalamnya?
Yuk, simak artikel ini lebih lanjut.
Apa itu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
UU HPP atau UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan merupakan Undang-Undang yang berasal dari rancangan yang terlebih dahulu sudah disusun. Pada dasarnya, UU HPP ini mengatur berbagai peraturan baru dalam hal perpajakan agar sistem PPh yang berlaku kepada para Wajib Pajak menjadi lebih adil di negara Indonesia.Â
Tidak hanya itu, dalam perihal PPh juga kebijakan lainnya diperbaiki mulai dari insentif bagi Wajib Pajak UMKM, perbaikan progresivitas dari PPh Orang Pribadi, serta perbaikan administrasi mengenai NIK atau Nomor Induk Kependudukan yang dijadikan sebagai Nomor Pokok wajib Pajak atau biasa dikenal dengan NPWP untuk para Wajib Pajak Orang Pribadi.
Baca Juga: Kenali Macam-Macam Status Kewajiban Perpajakan!
Poin-Poin UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Berikut ini adalah poin-poin penting yang dibahas di dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang perlu diketahui bagi Anda para Wajib Pajak:
NIK Gantikan NPWP
Salah satu poin yang dibahas di dalam UU HPP adalah digantikannya NPWP dengan NIK bagi para Wajib Pajak di dalam negeri. Adanya ketentuan ini didasarkan dengan alasan untuk mengintegrasikan data kependudukan dengan basis data perpajakan.Â
Maka dari itu lah, Menteri Dalam Negeri memberikan amanat untuk memberikan data kependudukan dari pemilik NIK kepada Menteri Keuangan. Perihal mengenai poin yang satu ini dibahas lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Tarif PPN Naik dan Disusul Tarif Khusus
Poin penting selanjutnya yang dibahas di dalam UU HPP adalah naiknya tarif umum PPN yang akan diubah menjadi 12% dari 10% secara bertahap. Tahapan pertama kenaikan PPN ini akan dimulai per April 2022 dengan tarif sebesar 11% dan secara perlahan akan naik ke angka 12% dengan rentang waktu paling lambat Januari 2025.
Pemerintah juga memiliki wewenang untuk mengubah besaran tarif PPN mulai dari 5% untuk tarif paling rendah hingga 15% sebagai tarif paling tinggi atas persetujuan DPR.
Baca juga: Dampak Kenaikan PPN 12% Terhadap Pekerja
Tarif PPh Ditambah
Jika biasanya tarif PPh memiliki empat ketentuan maka pada UU HHPP jumlahnya ditambah menjadi lima. UU HPP melebarkan rentangan penghasilan kena pajak pribadi dengan tarif terendah sebesar 5% hingga Rp 60 juta yang sebelumnya Rp 50 juta.
Sedangkan ketentuan tarif PPh tertinggi sebesar 30% untung penghasilan Rp 500 juta setahun juga dinaikkan menjadi Rp 5 miliar setahun dengan tarif PPh menjadi 35%.
Berikut ini adalah tabel perbandingan ketentuan tarif PPh baru dan lama
UU PPh Lama | UU PPh Baru | ||
Penghasilan Kena Pajak | Tarif | Penghasilan Kena Pajak | Tarif |
Sampai dengan Rp 50 juta | 5% | Sampai dengan Rp 60 juta | 5% |
> Rp 50 juta – Rp 250 juta | 15% | > Rp 60 juta – Rp 250 juta | 15% |
> Rp 250 juta – Rp 500 juta | 25% | > Rp 250 juta – Rp 500 juta | 25% |
> Rp 500 juta | 30% | > Rp 500 juta – Rp 5 miliar | 30% |
– | > Rp 5 miliar | 35% |
Baca Juga: Memahami Asas Pemungutan Pajak dan Jenisnya di Indonesia
Tax Amnesty Jilid II
Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty akan kembali diulang selama enam bulan, mulai dari 1 Januari hingga 30 Juni 2022, dengan label baru Voluntary Disclosure Program (VDP) atau Program Pengungkapan Sukarela.
Bagi peserta tax amnesty I pada tahun 2016 sampai dengan 2017 yang belum melaporkan aset perolehan tahun 2015 ke belakang wajib membayar PPh final sebagai uang tebusan dan disesuaikan dengan tiga kategori dan aset tarif berikut ini:
- 11% untuk deklarasi aset di luar negeri
- 8% untuk repatriasi aset luar negeri dan dalam negeri; danÂ
- 6% untuk repatriasi aset luar negeri dan dalam negeri yang diinvestasikan di pasar obligasi negara, industri hilir, dan sektor energi terbarukan.Â
Kebijakan kedua mengenai amnesti pajak ini diperuntukan bagi orang pribadi yang belum melaporkan aset perolehan pada tahun 2016 sampai 2020 dalam SPT.
Peserta VDP ini dikenakan PPh final dengan tari lebih tinggi sesuai dengan ketentuan berikut:
- 18% untuk deklarasi asset di luar negeri
- 14% untuk repatriasi aset luar negeri dan dalam negeri; danÂ
- 12% untuk repatriasi aset luar negeri dan dalam negeri yang diinvestasikan di pasar obligasi negara, industri hilir, dan sektor energi terbarukan.Â
Payroll Services LinovHR: Solusi Kelola Pajak Karyawan
Perhitungan pajak yang sudah diatur dan diperbaiki oleh UU HPP ini juga tentunya berpengaruh kepada pola perhitungan pajak penghasilan para pekerja di Indonesia. Dengan adanya perubahan ini, pastinya perusahaan harus mengubah data dan juga pengelolaan gaji hingga besaran pemotongan gaji karyawan setiap bulannya.
Menghitung pajak penghasilan karyawan tentunya akan lebih mudah untuk dikontrol dan juga dikelola dengan adanya payroll services dari LinovHR yang memungkinkan para HR untuk menyelesaikan perihal ini menjadi lebih mudah.Â
Tidak hanya itu, perhitungan gaji dan juga pajak karyawan menggunakan LinovHR sudah dipastikan akan sangat uptodate dengan regulasi terbaru yang sudah mulai berlaku, sehingga Anda tidak perlu khawatir lagi akan adanya kekurangan atau kelebihan atas pemotongan pajak.Â
Untuk info lengkapnya mengenai jasa payroll LinovHR, ketuk tautan berikut ini!Â
Sumber: