Restitusi pajak adalah proses yang tak asing dalam proses administrasi perpajakan.
Meskipun seringkali dibicarakan, masih banyak yang belum sepenuhnya memahami konsep dan prosedur yang terlibat dalam restitusi pajak.Â
Bagi sebagian orang, pengembalian pembayaran pajak adalah suatu hal yang mungkin terdengar rumit dan membingungkan.Â
Namun, sejatinya, dengan pemahaman yang tepat, proses ini dapat dijalani dengan lancar dan dapat menjadi manfaat finansial yang signifikan.Â
Oleh karena itu, penting bagi setiap wajib pajak untuk mengerti syarat-syarat serta cara yang benar untuk mengajukan restitusi pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pahami dalam artikel LinovHR berikut ini!
Apa Itu Restitusi Pajak?
Jadi, apa itu restitusi pajak? Begini, saat Anda membayar pajak, sering kali terjadi situasi di mana Anda membayar lebih dari yang seharusnya.
Nah, restitusi pajak adalah mekanisme yang memungkinkan Anda untuk mengajukan pengembalian dana tersebut.
Artinya, jika Anda telah membayar lebih dari yang seharusnya dalam pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, atau bahkan pajak penjualan atas barang mewah, Anda memiliki hak untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran tersebut.
Nantinya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa klaim restitusi Anda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, restitusi pajak adalah hak yang dimiliki oleh setiap wajib pajak untuk memastikan bahwa mereka tidak membayar lebih dari yang seharusnya kepada pemerintah.
Siapa yang Berhak Mendapat Restitusi Pajak?
Peraturan mengenai siapa yang berhak atas mendapatkan restitusi pajak tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2021, ada tiga kelompok wajib pajak yang berhak atasnya, yaitu:
1. Wajib Pajak Kriteria Tertentu
Wajib pajak orang pribadi atau badan berhak atas restitusi pajak jika sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh DJP, yaitu:
- Tepat waktu dalam menyampaikan SPT.
- Tidak memiliki tunggakan pajak untuk semua jenis pajak.
- Menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah.
- Tidak terlibat dalam tindak pidana dalam bidang perpajakan.
Apabila tidak memiliki kriteria di atas, misalnya wajib pajak terlambat dalam menyampaikan SPT Tahunan, maka ia tidak berhak mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
2. Wajib Pajak Persyaratan Tertentu
Terdapat empat kriteria yang perlu dipenuhi oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan untuk bisa menerima pengembalian, yaitu:
- Orang pribadi yang tidak menjalankan usaha, harus menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar untuk mendapatkan restitusi.
- Orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, harus menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta.
- Badan usaha harus menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar.
- Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5 miliar.
3. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah
PKP berisiko rendah diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak PPN di setiap masa pajak. Kriteria yang perlu dipenuhi antara lain:
- Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
- Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan yang mengatur keduanya.
- PKP yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan atau Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) sesuai dengan ketentuan yang mengatur hal tersebut.
- Pabrikan atau produsen yang memiliki tempat untuk melaksanakan kegiatan produksi.
- PKP yang memenuhi persyaratan tertentu, seperti pedagang besar farmasi atau distributor alat kesehatan yang memiliki sertifikat distribusi dan izin penyalur sesuai peraturan yang berlaku.
- Perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50% yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BUMN induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Baca Juga: Apa Itu Self Assessment System dalam Pajak
Regulasi yang Mengatur Restitusi Pajak
Regulasi yang mengatur restitusi pajak tertuang dalam beberapa undang-undang, yaitu:
- Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Â
- Selain itu, ketentuan-ketentuannya juga dijelaskan dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1982 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Regulasi tersebut tidak hanya terbatas pada Undang-Undang, namun juga diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan, seperti:
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan,Â
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER).Â
Sebagai turunan dari UU KUP, regulasi ini telah mengalami beberapa kali perubahan untuk penyesuaian lebih lanjut.
Di dalamnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian insentif restitusi pajak, seperti percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.Â
Regulasi terbaru mengenai insentif tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 209/PMK.03/2021 yang merupakan Perubahan Kedua atas PMK No. 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Jenis-jenis Restitusi Pajak
Setidaknya terdapat dua jenis restitusi pajak yang dapat dilakukan tergantung pada kondisinya, di antanya:
1. Restitusi atas Kondisi Lebih Bayar Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
Restitusi pajak dalam kondisi lebih bayar yang seharusnya tidak terutang terjadi saat seorang wajib pajak melakukan pembayaran pajak.
Namun, sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak tersebut.
Contoh restitusi pajaknya:
Sebagai contoh, Bapak XYZ telah membayar Pajak Penghasilan sebesar Rp70 juta untuk Tahun Pajak 2023.Â
Namun, setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata Bapak XYZ memiliki seluruhnya penghasilan yang non-pajak.
Sehingga seharusnya ia tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak penghasilan tersebut.
Dalam hal ini, Bapak XYZ berhak untuk mengajukan restitusi pajak atas pembayaran yang dilakukan untuk pajak yang sebenarnya tidak terutang.
2. Restitusi atas Kondisi Lebih Bayar Pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM
Selain itu, restitusi pajak juga dapat terjadi ketika seorang WP membayar pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM dengan jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya.
Contoh restitusi pajaknya:
PT ABC, sebuah perusahaan yang terdaftar sebagai PKP, melakukan pembayaran PPN sebesar Rp1 miliar untuk transaksi yang dilakukan selama bulan Mei 2024.Â
Namun, setelah melakukan peninjauan kembali terhadap transaksi tersebut, PT. ABC menemukan bahwa ada kesalahan dalam perhitungan PPN yang seharusnya dibayarkan.
Sehingga jumlah yang sebenarnya harus dibayarkan hanya sebesar Rp800 juta.
Dalam situasi ini, PT. ABC memiliki opsi untuk menggunakan kelebihan pembayaran PPN tersebut sebagai kredit pada masa pajak berikutnya atau mengajukan restitusi pajak untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Syarat Pengajuan Restitusi Pajak
Terkait dengan syarat atas pengajuan dari kedua jenis restitusi di atas, berikut adalah penjelasan syarat restitusi pajak.
Syarat Restitusi Pajak Lebih Bayar yang Seharusnya Tidak Terutang
Dalam proses pengajuan restitusi pajak atas lebih bayar yang seharusnya tidak terutang, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menguraikan persyaratan sebagai berikut:
1. Restitusi Pajak atas Pembayaran Pajak oleh Pembayar
- Permohonan restitusi pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Surat permohonan restitusi pajak harus ditandatangani oleh pembayar pajak, atau dilampiri dengan surat kuasa jika pengajuan dilakukan oleh pihak lain.
- Dokumen pendukung asli pembayaran, seperti Surat Setoran Pajak (SSP), perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang, serta alasan pengajuan restitusi harus dilampirkan.
- Pengajuan restitusi pajak disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atau KPP wilayah kerjanya.
- Alternatif lain, pengajuan restitusi dapat dilakukan melalui pos atau jasa ekspedisi/kurir dengan menyertakan bukti penerimaan atau pengiriman surat permohonan.
2. Restitusi Pajak dalam Rangka Impor
- Permohonan restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Surat permohonan restitusi harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau dilampiri dengan surat kuasa jika diajukan oleh pihak lain.
- Dokumen yang diperlukan mencakup fotokopi surat setoran pabean cukai dan pajak, Surat Penetapan-Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor (SPKPBM), Surat Penetapan Pabean (SPP), atau dokumen lain yang terkait dengan impor. Selain itu, penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang dan alasan pengajuan juga harus dilampirkan.
- Pengajuan restitusi pajak diserahkan langsung ke KPP tempat WP terdaftar.
- Alternatifnya, pengajuan restitusi dapat dilakukan melalui pos atau jasa ekspedisi/kurir dengan menyertakan bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat.
3. Restitusi Pajak atas Kesalahan Pemotongan atau Pemungutan
- Pengajuan pengembalian atas kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak juga diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Surat permohonan restitusi harus ditandatangani oleh WP atau pihak lain yang telah diberi kuasa khusus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Syarat Restitusi Pajak yang Lebih BayarÂ
Secara umum, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak, baik PPh, PPN, maupun PPnBM, tergantung pada kriteria subjek pajaknya, yakni kriteria tertentu, persyaratan tertentu, dan PKP berisiko rendah.Â
Setelah melakukan pemeriksaan dan meninjau dokumen tambahan, DJP dapat memutuskan untuk mengembalikan kelebihan pembayaran PPN dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi berikut:
1. Pengembalian atas Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
- Pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara.
- Pajak yang telah disetor tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan PPh, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.
- Pajak yang dipungut telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh wajib pajak pemungut.
- Pajak yang dipungut tidak menimbulkan keberatan dari WP yang dipungut.
2. Pengembalian atas Kesalahan dalam Pajak Impor
- Pengembalian PPN terjadi jika terjadi kesalahan yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak impor.
- Dokumen yang menjadi dasar pengembalian antara lain SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPTNP, SPP, keputusan keberatan, putusan banding, putusan peninjauan kembali, dan dokumen pembatalan impor yang disetujui oleh pejabat yang berwenang.
Selain itu, berdasarkan Pasal 4 dan 4a UU PPN No. 42 Tahun 2009, jika Pajak Masukan pada suatu Masa Pajak lebih besar dari Pajak Keluaran, kelebihan tersebut dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.Â
Permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan pada akhir tahun buku dengan memperhatikan ketentuan yang telah ditetapkan.
Proses Pengajuan Restitusi Pajak
Proses pengajuan pengembalian pajak dimulai dengan mengajukan permohonan kepada DJP, baik secara daring maupun langsung ke Kantor Pajak.Â
Setelah itu, dokumen-dokumen yang diperlukan diserahkan, dan DJP akan melakukan pemeriksaan dalam waktu maksimal 12 bulan sejak surat permohonan diterima dengan lengkap.
Berikut adalah proses pengajuannya:
- WP dapat mengajukan permohonan restitusi pajak secara daring atau langsung ke Kantor Pajak.
- Dokumen yang dibutuhkan diserahkan kepada DJP untuk proses selanjutnya.
- DJP akan melakukan pemeriksaan terhadap dokumen yang diserahkan oleh WP dalam waktu maksimal 12 bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap.
- Jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
- Bagi WP yang mengajukan restitusi dipercepat, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) PPN dalam waktu paling lama 1 bulan.
- Jika dalam waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi PPN DJP tidak memberikan keputusan, permohonan restitusi dianggap dikabulkan, dan SKPLB akan diterbitkan paling lambat dalam waktu 1 bulan setelah batas waktu tersebut berakhir.
Kemudian, melalui PER-5/PJ/2023, proses restitusi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dipercepat dari 1 tahun menjadi 15 hari kerja.
Mudahkan Pengelolaan PPh 21 Karyawan dengan Payroll Services LinovHR
Pengelolaan PPh 21 karyawan merupakan tugas yang memerlukan perhatian khusus dan keakuratan yang tinggi. Namun, sayangnya tidak semua perusahaan memiliki tim atau orang yang ahli dalam mengelola perpajakan karyawan.
Apalagi peraturan perpajakan yang berubah-ubah, tentunya akan membuat kebingungan bila tidak mengikuti perkembangannya.
Untuk itulah Payroll Service LinovHR hadir, membantu perusahaan dalam mengelola perpajakan karyawan.
Tim profesional Payroll Service LinovHR, akan menangani berbagai proses perpajakan karyawan mengikuti peraturan terbaru. Dengan jam terbang menangani berbagai industri, Anda tidak perlu ragu lagi mengandalkan jasa Payroll Service LinovHR.
Semua proses akan dilakukan dengan ketelitian dan dedikasi penuh, sehingga Anda tidak akan mengalami berbagai kesalahan perpajakan yang dapat merugikan perusahaan maupun karyawan.
Jadi, jika Anda ingin menyederhanakan dan mengoptimalkan pengelolaan PPh 21 karyawan, Payroll Outsourcing LinovHR adalah solusi terbaik untuk Anda.Â
Dapatkan kontrol yang lebih baik atas pajak karyawan Anda dan fokuslah pada pertumbuhan bisnis Anda. Hubungi kami hari ini untuk memulai bersama LinovHR!