Quiet quitting adalah salah satu fenomena yang menggambarkan situasi di mana karyawan bekerja seadanya dan tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan perusahaan.
Karyawan yang melakukan hal ini cenderung kehilangan motivasi dalam bekerja. Tentu hal ini menjadi hal buruk bagi perusahaan karena secara langsung akan memengaruhi produktivitas perusahaan.Â
Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Society for Human Resource Management, ditemukan bahwa sebanyak 51% professional HR mengungkapkan kekhawatiran terhadap quiet quitting.Â
Untuk mengenal fenomena ini lebih jauh, mari simak artikel LinovHR berikut hingga selesai!
Apa Itu Quiet Quitting
Quiet quitting adalah suatu perilaku atau tindakan di mana seorang karyawan membatasi kontribusinya dalam menjalankan tugas pekerjaannya sesuai tanggung jawab yang diberikan.
Dalam konteks ini, karyawan cenderung kehilangan minat untuk melakukan pekerjaan diluar tugas utama mereka dan hanya berfokus pada menyelesaikan tugas individu dengan usaha yang cukup.
Ada berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang dapat memicu seorang karyawan melakukan hal ini. Namun, yang menjadi alasan utama quiet quitting adalah upaya untuk mencapai work life balance di tengah kehidupan yang semakin dinamis saat ini.
Secara tidak langsung, tindakan ini juga menciptakan batasan yang lebih jelas antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
Meskipun tidak sepenuhnya salah, perilaku ini bisa menjadi buruk untuk perusahaan. Ini bisa menjadi indikator rendahnya employee engagement.
Ciri-ciri Quiet Quitting
Beberapa karyawan dengan sengaja melakukan tindakan ini karena berbagai alasan tertentu. Jika Anda masih kurang familiar dengan tindakan ini, coba perhatikan rekan kerja atau lingkungan sekitar di tempat kerja Anda.
Biasanya, seorang quiet quitters memiliki ciri-ciri seperti berikut ini:
- Menolak melakukan pekerjaan diluar deskripsi pekerjaan utama.
- Memilih pulang tenggo sesuai dengan jadwal kerja dan menghindari lembur.
- Melakukan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang telah ditentukan.
- Menolak terlibat dalam pekerjaan atau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan tugas kerja di hari libur.
- Hilangnya minat untuk menjadi karyawan yang berprestasi di perusahaan.
- Pasif saat rapat atau diskusi yang terkait dengan pekerjaan.
- Jarang menghadiri acara-acara yang diadakan oleh perusahaan.
Baca Juga:Â Core Value: Definisi dan Cara Mengintegrasikannya dalam Kinerja Harian
Pemicu Quiet Quitting pada Karyawan
Salah satu faktor yang diduga menjadi pemicu quiet quitting adalah kebosanan dan kurangnya apresiasi serta kompensasi yang dirasakan oleh banyak karyawan. Dengan beban kerja yang besar yang perlu mereka selesaikan dari hari ke hari.
Namun, mereka merasa bahwa perusahaan tidak memberikan pengakuan dan gaji tambahan yang sepadan. Minimnya apresiasi dan adanya lingkungan kerja yang toxic dianggap sebagai faktor utama munculnya hal ini.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan juga menjadi pertimbangan.
Faktor-faktor lain yang menjadi pemicu seorang karyawan menjadi quiet quitter, antara lain:
- Karyawan merasa terlalu lelah akibat beban kerja yang tidak seimbang.
- Karyawan merasa anxiety karena adanya kemungkinan pekerjaan tambahan yang bisa ditugaskan sewaktu-waktu.
- Banyak karyawan yang mulai merasa bosan dengan pekerjaan yang terasa stagnan dan tidak menantang.
- Karyawan merasa bahwa mereka tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk kehidupan pribadi mereka.
- Karyawan merasa bahwa usaha keras mereka hanya menguntungkan perusahaan tanpa mendapatkan imbalan yang setimpal.
Baca Juga: Faktor Kinerja Menurun pada Karyawan yang Perlu Disadari HR
Dampak Quiet Quitting
Perilaku bekerja seadanya ini tentu saja mendatangkan dampak, baik untuk karyawan itu sendiri atau juga perusahaan. Berikut penjelasannya.
-
Dampak Positif
Tak dapat dipungkiri, salah satu dampak positif yang menguntungkan bagi karyawan adalah terciptanya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi (work-life balance).Â
Hal ini memungkinkan karyawan untuk menghindari stres, bekerja lembur hingga larut malam yang dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik, serta menghindari kondisi burnout.
Selain itu, quiet quitting juga membantu karyawan untuk tidak terbebani dengan tanggung jawab pekerjaan yang seharusnya bukanlah tugas mereka.
Dengan menolak eksploitasi, karyawan dapat menjaga batasan yang sehat dalam pekerjaannya.
Perilaku atasan dalam memperlakukan bawahan bisa bervariasi. Ada atasan yang cenderung mengeksploitasi bawahannya.
Namun, sikap seperti ini sebenarnya tidak bijaksana. Apalagi jika hasil kerja karyawan tidak diapresiasi dengan baik. Sikap tersebut sebaiknya dihindari oleh seorang atasan yang baik.
-
Dampak Negatif
Karyawan yang melakukan quiet quitting berpotensi mengalami penurunan produktivitas. Selain itu, perilaku ini juga dapat meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tidak puas dengan kontribusi karyawan tersebut.
Bagi perusahaan, perilaku ini berdampak pada rendahnya keterlibatan karyawan di tempat kerja. Ketika keterlibatan karyawan rendah, angka turnover bisa meningkat.
Cara Mencegah Quiet Quitting
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencegah perilaku quiet quitting pada karyawan mereka, seperti berikut ini:
1. Monitoring Beban Kerja
Penting sekali bagi manajer untuk memantau beban kerja yang diemban oleh karyawan.
Bila memang diharuskan karyawan melakukan pekerjaan di luar tanggung jawab mereka, pastikan berikan mereka penghargaan yang setimpal.
Atau berikan mereka waktu libur tambahan setelahnya untuk memastikan mereka punya waktu beristirahat.
2. Berikan Kompensasi yang Tepat
Kesenjangan gaji antara karyawan bisa menjadi pemicu perilaku ini. Maka dari itu, pastikan secara berkala Anda melakukan riset dan benchmark untuk memastikan bahwa setiap karyawan telah mendapatkan kompensasi yang tepat sesuai dengan beban yang mereka pegang.
3. Susun Jenjang Karier Karyawan
Perilaku quiet quitting bisa terjadi karena karyawan merasa karier mereka stagnan di perusahaan.
Maka dari itu, HR dan manajerial perusahaan perlu untuk menyusun career path yang jelas bagi setiap karyawan, tawarkan mereka kenaikan jabatan sehingga karyawan termotivasi.
Monitoring Karyawan Lebih Mudah dengan Performance Management System LinovHR
Perilaku quiet quitting tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika dibiarkan ini akan menjadi wabah yang menyerang seluruh karyawan dan menjadi penghambat tercapainya tujuan perusahaan.
Maka dari itu, mengetahui ciri dan tanda bahwa melakukan hal ini menjadi penting sekali. Melakukan monitoring kinerja dan keterlibatan karyawan menjadi langkah yang bisa dilakukan untuk antisipasi hal ini.
Salah satu hal yang paling mudah apabila Anda ingin monitoring karyawan secara modern dengan menggunakan Performance Management System LinovHR.
Performance Management System LinovHR adalah sistem khusus yang dikembangkan untuk mendukung perusahaan dalam melakukan monitoring dan evaluasi kinerja karyawan.
Dengan fitur-fitur yang ada di dalamnya, perusahaan dapat secara real-time mengamati pencapaian karyawan.
Lalu terdapat juga fitur Appraisal, yang bisa digunakan untuk melakukan penilaian performa karyawan dengan objektif.
Selain itu, perusahaan pun bisa melakukan survei keterlibatan terhadap karyawan secara online dengan memanfaatkan fitur Engagement.
Dari sini, perusahaan akan mendapatkan laporan dan data yang komprehensif untuk menilai keterlibatan dan performa karyawan.
Mengetahui hal ini akan menuntun perusahaan melakukan tindakan strategi baik memberikan apresiasi, pelatihan, atau juga manpower planning.
Jadi, tunggu apalagi? Ayo gunakan Software LinovHR untuk meningkatkan kinerja perusahaan Anda. Ajukan demo gratis dan rasakan manfaatnya, ya!