Salah satu topik yang paling banyak dibicarakan menjelang hari raya Idul Fitri adalah Tunjangan Hari Raya alias THR.
Tunjangan Hari Raya memang sudah menjadi tradisi bagi para karyawan di Indonesia. Istilah THR lebih dikenal dengan gaji ke-13 dengan ilustrasi berikut:
Gaji per bulan sebesar Rp4.000.000. Maka gaji per minggu sebesar Rp1.000.000 (1 bulan sama dengan 4 minggu, maka Rp4.000.000 dibagi 4 minggu).
Dalam setahun ada 12 bulan atau 52 minggu, gaji 1 tahun adalah Rp52.000.000 (52 minggu x Rp1.000.000), atau gaji 1 tahun adalah Rp48.000.000 (12 bulan x Rp 4.000.000).
Ternyata ada selisih antara gaji 52 minggu, dengan gaji 12 bulan, yaitu Rp4.000.000. Selisih inilah yang disebut dengan gaji ke-13 atau THR.
Saat ini, masyarakat Indonesia patut bersenang hati karena gaji ke-13 akan dibayarkan sekaligus pada saat pembayaran tunjangan.
Hal ini merupakan sebuah aturan baru bagi pemerintah untuk memberikan tunjangan bagi karyawan yang bekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Bagaimanakah Asal Usul THR itu Sendiri?
THR ternyata membutuhkan proses sejarah yang cukup panjang. Pembagian dan pemberian uang THR bagi para pekerja di Indonesia dimulai pertama kali pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi. Soekiman Wirjosandjojo adalah Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-6.
Kala itu pembagian uang tunjangan tersebut merupakan salah satu program kerja kabinet Soekiman yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai negeri sipil (PNS). Kelompok pegawai negeri sipil terdiri dari priyai, menak, kaum ningrat, TNI, dan sekelasnya.
Pada era Kabinet Soekiman, pembagian THR bisa berupa uang setiap bulan di akhir bulan Ramadhan, yakni sebesar Rp125 sampai Rp200, yang sekarang setara dengan Rp1.100.000 sampai Rp1.750.000. Tidak hanya itu, tunjangan juga diberikan diberikan dalam bentuk tunjangan beras.
Baca juga: Kabar Gembira Kerja Satu Bulan bisa Dapat THR
Protes Kaum Buruh Terhadap Pemberian THR
Pada tanggal 13 Februari 1952, dimulainya aksi protes dan demonstrasi dari kaum buruh terhadap pembagian THR yang diperuntukkan hanya untuk PNS saja. Hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara kaum buruh dan pegawai negeri.
Sebagai bentuk protesnya, para kaum buruh langsung menggelar mogok, sembari menuntut pemerintah untuk adil dalam memberikan tunjangan kepada mereka. Namun, tuntutan dari kaum buruh tidak dapat diterima oleh pemerintah.
Tak lama, perjuangan kaum buruh pada masa itu tidak sia-sia. Hal ini membuktikan bahwa pada tahun 1994, pemerintah akhirnya secara resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Baca juga: Siapa yang berhak menerima THR menurut Ketentuan Pemerintah
Tahun lalu, pemerintah memutuskan untuk merevisi peraturan mengenai THR, yang tertuang dalam peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6/2016.
Berdasarkan Permen tersebut, Tunjangan Hari Raya Keagamaan adalah non upah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan pada 7 hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja berlangsung.
Sistem pemberian dan pembayaran THR oleh perusahaan bagi pekerja atau kaum buruh ini berlaku dalam setahun sekali.
Peraturan tersebut juga mengatur mengenai sanksi keterlambatan yang dilakukan perusahaan dalam membayarkan Tunjangan Hari Raya, seperti dikenakannya denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan. Hal ini tentu saja dilakukan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan para pekerja di Indonesia.
Mudah Urus THR dengan Software Payroll LinovHR
Tunjangan Hari Raya dalam persepsi suatu perusahaan merupakan sebuah nilai tambah penghasilan bagi pekerjanya yang juga membutuhkan pengelolaan yang baik disamping komponen payroll lainnya.
Oleh karena itu, menggunakan sistem yang baik seperti Software Payroll LinovHR adalah solusi yang tepat mengelola data payroll Anda seperti gaji, upah, tunjangan, pph 21, dan juga THR tentunya.
Pastikan Anda sudah menjadwalkan demo Software Payroll dengan kami.