Pada artikel kami sebelumnya yang membahas tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia menjelaskan bahwa PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan tempat bekerja. PHK membuat para pekerja merasa ketakutan jika PHK terjadi. Semua hal yang menyebabkan berakhirnya hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan disebut dengan PHK. Dalam melakukan prosedur pemutusan hubungan kerja, pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan kerjanya terputus. Sebaiknya para pengusaha atau perusahaan mengupayakan agar tidak ada terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah telah mengatur ketentuan pemutusan hubungan kerja dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Terdapat pada bab XII pasal 152, telah disebutkan bahwa permohonan pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan dengan cara melakukan permohonan tertulis yang disertai dengan alasan dan dasar kepada lembaga penyelesaian masalah hubungan industrial, lalu kemudian lembaga penyelesaian perselisihan sengekta hubungan industrial menerima dan memberikan penetapan terhadap permohonan yang diajukan.
Ada beberapa alasan tidak sah atau illegal menurut undang-undang, yaitu:
Berhalangan Masuk Karena Sakit
Berdasarkan ketentuan undang-undang No.13 tahun 2003 pasal 153 ayat 1 huruf a disebutkan bahwa pengusaha atau perusahaan dilarang memberikan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja berhalangan untuk masuk bekerja karena sakit menurut keterangan dari dokter selama tenggat waktu tidak melampaui 12 bulan berturut-turut. Maka dari itu, pengusaha atau perusahaan wajib memperkerjakan pekerja yang telah sembuh dari sakit.
Â
Menjalankan Tugas Negara
Pekerja yang berhalangan masuk kerja pada suatu perusahaan karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara, misalnya menjadi peserta kompetisi mewakili negara atau mengharuskan pekerja membela negara tanah airnya. Alasan seperti ini tidak dapat dijadikan PHK, karena sebelum melaksanakan tugas negara pekerja dan perusahaan harus memiliki kesepakatan untuk tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam bekerja.
Â
Melaksanakan Ibadah
Pekerja yang sedang melaksankan ibadah sesuai agamanya masing-masing seperti berangkat menunaikan ibadah haji bagi pekerja yang beragama Islam, alasan ini mendapatkan hak penuh dalam peraturan perjanjian perusahaan dan undang-undang.
Â
Pekerja Menikah
Peraturan dalam melakukan cuti menikah telah diatur pada undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kemudian seharusnya ada pada peraturan perusahaan dan juga perjanjian kerja. Tidak masuk bekerja karena menikah akan tetap mendapat upah menjadi hak sebagai pekerja perusahaan. Jika kemudian pengusaha atau perusahaan melakukan PHK, akan ada sanksi yang diberlakukan oleh pemerintah kepada perusahaan atau pengusaha tersebut.
Â
Pekerja Perempuan Hamil, Melahirkan, Keguguran maupun Menyusui bayinya
Terdapat banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak pekerja perempuan, yaitu sebagai berikut:
- Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women yang telah disetarakan dengan Undang-undang No.7 Tahun 1984
- ILO Convention No. 183 Tahun 2000 on Maternity Protection (Konvensi ILO mengenai Perlindungan Maternitas)
- Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Maka dari itu, pengusaha atau perusahaan tidak diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian kerja yang berisi larangan untuk hamil ataupun menikah selama masa hubungan kerja yang telah diberikan kepada pekerja.
Baca Juga: Serba-Serbi Cuti Menikah Dan Cuti Melahirkan
Memiliki Ikatan Perkawinan Antar Sesama pekerja dalam Satu Perusahaan
Perusahaan tidak dapat membuat suatu aturan yang melarang karyawannya menikah dengan rekan kerja satu kantor, karena sebuah ikatan perkawinan adalah takdir dari yang Maha Kuasa, yang tidak dapat diganggu. Hal ini tidak dapat dijadikan suatu alasan perusahaan melakukan PHK karena tidak sejalan dengan undang-undang dasar 1945 pasal 28 D Ayat 2.
Menjadi Pengurus Serikat Pekerja
Pekerja menjadi seorang yang mendirikan, atau menjadi seorang anggota suatu serikat pekerja, kemudian pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja yang dilakukan diluar jam kerja, atau didalam jam kerja tetapi telah ada kesepakatan bersama antara perusahaan dan pekerja, atau berdasarkan sebuah peraturan yang telah diatur dalam perjanjian kerja, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebuah alasan bagi perusahaan untuk PHK.
Baca Juga: Asal Usul Hari Buruh di Dunia
Pekerja Melaporkan Perusahaan Kepada Pihak yang Berwajib
Para pekerja yang melakukan pengaduan kepada pihak yang berwajib memiliki hak untuk mengadu dan tidak dapat menjadikan pekerja tersebut dilakukan PHK, karena perusahaan tersebut melakukan tindak pidana kejahatan yang melanggar aturan-aturan perundangan yang berlaku.
Alasan Perbedaan Agama, Pandangan Politik, Suku dan lain-lain
Berdasarkan UUD Indonesia, siapapun manusia setara di mata hukum dan pemerintah, semua orang berhak pada pekerjaan yang telah memenuhi standar kelayakan hidup bagi kemanusiaan. Undang-undang Ketenagakerjaan melarang pengusaha atau perusahaan melakukan PHK dengan alasan yang berkaitan dengan tindak diskriminasi seperti membeda-bedakan ideologi, agama, pilihan politik, etnis, ras, warna kulit, kelompok sosial, kondisi fisik ataupun status pernikahan seorang pekerja.
Â
Baca Juga: Perilaku Ageism di Tempat Kerja yang Harus Dihindari
Pekerja Mengalami Cacat Tetap
Tidak dapat dilakukan PHK karena pekerja yang kerja kemudian sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja berdasarkan surat keputusan dokter dalam melakukan penyembuhan belum dapat ditentukan jangka waktunya.
Setiap pengusaha atau perusahaan harus mengetahui alasan-alasan ilegal dalam melakukan PHK menurut undang-undang yang telah ditetapkan, agar nantinya tidak akan merugikan pekerja.